“BENTO BARU”

         “Bento” merupakan lagu lawas rilisan tahun 1989 dimana saat itu Indonesia masih dalam era Orde Lama dibawah kepemimpinan Soeharto. Secara harafiah lagu ini banyak ditafsir sebagai kritik terhadap pemerintah saat itu meskipun dalam beberapa kesempatan pencipta lirik lagu ini kerap mengelak. Dilansir dari detikhot, Iwan Fals mengaku lagu yang diciptakannya Bersama alm. Naniel (Swami) didasarkan pada pandangannya mengenai kehidupan strata sosial pada saat itu yang mengusik pikirannya terutama mengenai pembangunan rumah real estate yang jadi impian semua keluarga muda saat itu, namun dalam prosesnya banyak cara non-halal yang dilalui demi mencapai impian tersebut serta terkesan menyimpang dari realitas kehidupan sosial. Dalam penafsirannya banyak kalangan yang mengkaitkan lagu tersebut dengan salah satu anak pejabat kala itu, namun lagi – lagi sang pemusik dengan basis fans berjuluk “Orang Indonesia (Oi)” ini berdalih dan lebih menekankan pada perbuatan menyimpang yang ditunjukkan banyak orang Ketika sudah berada pada posisi nyaman (posisi tinggi).

Setelah lama tak terdengar dan hanya jadi bagian dari album kenangan, ditahun 2022 “Bento” kembali mencuat namun dalam balutan berbeda. Irama pop-rock yang dulunya jadi ciri khas kebanyakan lagu ciptaan Iwan Fals kini berganti menjadi menjadi lebih “nge-beat” serta terkesan dipaksakan jadi lagu pengiring  beberapa Gerakan tarian. Beberapa bulan terakhir lagu baru “Bento” sering kita dengarkan di berbagai aplikasi media sosial seperti Tiktok, Facebook, Instagram, dan berbagai platform lainnya. Di bagian stories maupun reels aplikasi tadi banyak bermunculan berbagai tarian “erotis”, membungkukkan badan dengan sedikit variasi Gerakan dengan memanfaatkan Lagu “Bento” versi baru sebagai backsound. Kehadiran Lagu Bento dengan Gerakan tarian khasnya sempat viral dan menjadikannya playlist wajib dibeberapa Hajatan Pernikahan dan sejenisnya. Tayangan – tayangan video dari aplikasi menjadi referensi utama dari berbagai usia untuk segera mempraktekkannya dalam “acara bebas” di hajatan tersebut.

Tidak dapat dipungkiri, berbagai arus informasi dan kemajuan zaman sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat, munculnya berbagai aplikasi hiburan instan dan mudah dijangkau menyebabkan masyarakat sangat mudah mendapatkan hiburan. Namun efek ikutan yang menyertainya juga sangat banyak dan cukup mempengaruhi perjalanan generasi saat ini. Berbagai video yang bisa begitu saja langsung dibagi tanpa adanya pertimbangan serta dapat diakses oleh siapa saja menyebabkan berbagai konten dapat melintas begitu saja didepan mata tanpa melihat umur dan kesiapan mental. Salah satu contoh nyata yang baru saja diuraikan diatas adalah “Goyang Bento”. Goyang satu ini cukup mendapat tempat di berbagai panggung acara dan merasuki berbagai kalangan. Keberadaannya mungkin sedikit banyaknya memberi hiburan, namun menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang cukup meresahkan dari munculnya wabah hiburan jenis baru ini. “Goyang Bento” bahkan hanya jadi salah satu dari sekian lusin goyangan model lain yang bertebaran diberbagai jejaring sosial.

Beberapa kasus akibat hebohnya goyangan ini sempat viral diberbagai daerah, salah satunya adalah pemecatan 2 kepala sekolah di Boltim Sulawesi Utara akibat siswa mayoret memperagakan goyang bento saat pawai (tribunmanado.co.id), dan masih banyak lagi kasus lain. Mungkin yang menjadi sorotan adalah kurangnya pengawasan terhadap goyangan seharusnya tidak ditampilkan saat pawai tersebut. Jika sudah dianggap seperti itu patut dipertanyakan kemungkinan ada yang salah dengan goyangan tersebut khususnya terkait waktu dan tempat yang tepat dan kegunaannya untuk Pendidikan anak.

Sebagai bagian dari Pendidikan, penulis berpikir bahwa Gerakan yang ada pada goyang bento mungkin merupakan ekspresi dari beberapa penikmatnya, dan juga niat utamanya untuk menghibur. Namun jika dilihat dari segi etika dan didikan yang ada didalamnya tentu hal ini jauh dari kata mendidik. Didikan apa yang didapat dari Gerakan seperti itu dan apa yang akan didapat anak. Bagi orang dewasa hal ini tentunya no big problem, namun bagi anak ini merupakan sesuatu yang mudah ditiru dan berpotensi untuk dijadikan sebagai panutan dan akhirnya dianggap sebagai hal yang lumrah.

              Ada beberapa hal menurut hemat penulis yang sepertinya patut diperhatikan dari kemunculan berbagai lagu lama yang di daur ulang dengan kemasan yang lebih “ngebeat” serta tarian pengiringnya yang “ramah anak” namun “tak mendidik”. Hal pertama adalah kemunculannya seolah – olah menenggelamkan makna yang ada pada lagu aslinya dan lebih menekankan pada “asyiknya” beat dan dentuman music yang bisa dipakai buat bergoyang ria. Salah satu contoh yang bisa diambil adalah pada lagu “Bento”, sejak munculnya “Bento baru” beberapa bulan silam, penikmatnya tak peduli lagi arti yang perlu ditelusuri dalam liriknya, yang penting sudah bisa dipakai “ngedugem” selebihnya bukan apa – apa dan dianggap tak bermakna.

Kedua, Kemunculan berbagai goyangan baru sebagai pengisi konten lagu – lagu “baru” yang tidak memperhatikan etika bisa saja membuat nilai – nilai luhur bangsa yang seharusnya dijaga justru terpengaruh dan malah mengalami kemunduran. Tarian – tarian daerah sepertinya sudah tidak dianggap menarik lagi dan bahkan malah terlupakan.

Ketiga, Pengaruh buruk yang ditimbulkan sebagai efek iringan dari adanya goyangan tersebut justru semakin memperparah Pendidikan, berbagai hal yang sifatnya hanya sebagai hiburan justru dijadikan sebagai yang utama dan yang lain dipandang sebagai pelengkap saja. Anak menjadikan hiburan tersebut sebagai hal utama yang mesti diupdate dan dicari, sementara materi pelajaran ataupun life skill  yang seharusnya mudah didapatkan di internet dan media sosial malah diabaikan dan dijadikan nomor terakhir. Apalagi Ketika orang tua kurang mengawasi apa yang ditonton maupun yang dilakukan anak.

Dan keempat, Munculnya berbagai media hiburan di berbagai platform media sosial tanpa filter dan tanpa pertimbangan serta “menghamba” pada jumlah follower dan subscriber menjadikan media sosial tidak terkontrol dan bisa menjadikannya tempat anak belajar hal – hal yang kurang mendidik.

              Keadaan ini tentunya sudah jauh merambah kedalam kehidupan masyarakat kita, cara pandang kita sebagai pendidik ataupun sebagai orang tua (dewasa) turut menentukan apakah ini masalah yang harus diatasi ataukah hal lumrah yang cukup diamini. Dari sisi penulis hal ini merupakan sebuah masalah yang sebetulnya perlu diatasi, meski dengan segala keterbatasan, kita patutnya mulai memperhatikan gejala – gejala pergerakan generasi baru yang cenderung easy going. Mungkin ada banyak hal yang bisa kita minta harus dilakukan pemerintah ataupun pihak lain untuk mengatasi masalah ini, namun selain meminta kita juga selayaknya memperhatikan apa yang semestinya dibuat ditingkat paling inti yaitu keluarga, ataupun di sekolah Ketika kita mengambil peran sebagai pendidik. Apa yang harus dibuat dan bagaimana selayaknya geliat yang mesti menguat tak perlu dijelaskan Panjang lebar. Toh, kita semua tak perlu penjelasan harus melakukan apa. Bekal sudah kita miliki tinggal bagaimana menghabiskannya dan dan memanfaatkannya untuk kebaikan dan perkembangan maksimal generasi kita kedepannya.

FRM

 

Komentar